Oleh Muhammad Akhyar (Dosen Universitas Pancasila dan Peneliti PPIM UIN Jakarta)
Pada tulisan ini saya akan mencoba menawarkan pada suatu renungan yang tampaknya perlu. Tentu saja perlu menurut saya, untuk teman-teman saya tak tahu. Kita akan mencoba mengupas tentang rutinitas, sesuatu yang tampaknya begitu-begitu saja. Kita mengenalnya dengan ritual keagamaan, ibadah.
Dalam pengalaman keberagamaan kita, saya kira kita lebih sering mempertanyakan, gaduh pada hal-hal yang terkait dengan “sudah benarkah ibadah kita, sudah sesuaikah dengan yang dicontohkan Nabi, atau sudah sejalankah dengan tafsir ulama terdahulu.” Pertanyaan-pertanyaan ini lebih sering muncul, alih-alih keraguan-keraguan semacam “sudah membaikkah diri saya karena ibadah yang saya telah lakukan.”
Tentunya kita perlu heran dengan diri kita, mengapa keberagamaan kita selama ini sungguh tergila-gila dengan formalitas ibadah, pada aspek-aspek legalitas sujud ruku’ kita, alih-alih perkara spritualitas yang lirih kepada Tuhan. Adakah hal ini terjadi karena kita terkurung pada jeruji ancaman yang menyatakan bahwa “ibadah hanya diterima jika ia tepat benar dengan aturan syariat, dalam hal ini sebagaimana yang dicontohkan Nabi.” Kita seolah lupa pada syarat yang lain, yang tentu saja kita juga diajari, yang lebih berat, bahwa ibadah adalah bagian dari penghambaan, sisi spritual yang lebih senyap. Kita mengenalnya dengan term ikhlas.
Dalam hal ini, saya kira, bolehlah kita meminjam model keberagamaan saudara-saudara kita penganut Buddhisme, yang lebih tergetar dengan gema iman dari dalam dirinya, bukannya suara langit yang penuh perintah harus begini dan mesti begitu. Saya mengatakan hal ini karena agama harusnya, dalam pandangan saya, tak sekadar menjadi ajang pembuktian benar tidaknya, sesuai tidaknya, kongruen tidaknya, perilaku ritual kita dengan perilaku Nabi, semacam konsep cermin datar, tetapi lebih pragmatik: sarana perbaikan diri. Mungkin term tazkiyatun nafs bisa kita letakkan di sini.
Saya jadi teringat dengan moral Kantian yang melihat Tuhan, atau dalam kaitan ini agama adalah sumber moral yang membuat dunia berjalan dengan tertib. Mungkin kita bisa meminjam perspektif ini dalam ranah yang lebih personal. Bahwa agama adalah sarana dialogis antara aku dan Mu. Alangkah indahnya jika ibadah kita adalah jalan perbincangan dengan Tuhan.
Bahwa takbiratul ihram adalah sapaan awal perbincangan dan salam adalah lambaian mesra kita padaNya bahwa rindu itu sudah menggebu bahkan sebelum kita beranjak dari sajadah tempat kita berpangku.
Bahwa zakat yang kita keluarkan adalah bentuk percakapan yang lain, dengan tema “bahwa saya sedang mencari rumahMu di celah bernama kemiskinan.” Dan dalam shaum kita menemukan hening yang memperkuat volume perbincangan antara aku dan Mu selama ini. Dan haji adalah semacam perayaan pernikahan dengan kekasih yang selama ini kita hubungi dari jauh. Ada buncah rindu yang tak tertahan di sana.
Semua hal di atas jika ibadah kita letakkan pada level penghambaan, dalam kaitan bahwa kita, “tidaklah manusia diciptakan melainkan untuk menghamba”. Menghamba, menjadi abdi, mengabdi, lebih saya sukai ketimbang beribadah dalam hal ini, karena beribadah, menurut saya, semakin ke sini, semakin mengalami penyempitan makna. Dalam ibadah yang berada pada level ini ada semangat “sami’na wa atha’ na”.
Lalu saya kembali terpikir, adakah Tuhan membuat agama hanya semacam “menjadi istighfar untuk istighfar yang lain” sebagaimana dikatakan Rabiah al Adawiyah. Ada semacam, meminjam Marx, candu religiusitas di sana, hanyut pada ekstase bernama kenyamanan di dekapan Tuhan. Dalam batasan keberagamaan model inilah tugas Tuhan yang lain kepada manusia mendapatkan tempatnya. Ya, menjadi khalifah Tuhan. Melanjutkan tugas ketuhanan di dunia. Gaung ini bernama teologi pembebasan dewasa ini.
Dalam khotbah Jumatnya yang dibukukan berjudul The Islamic Foundation, ulama besar Pakistan Al Maududi menyebutkan bahwa setiap ibadah kita itu adalah pelatihan pada hakikatnya. Menurutnya selalu ada nuansa kesadaran sosial, perjuangan keadilan dan pencapaian kesejahteraan di sana. Ada pengakuan Nabi yang manusia, selain pengakuan taat kepada Tuhan pada Syahadat. Ada keutamaan berjamaah dibanding melakukan sesuatu secara sendirian dalam shalat. Ada zakat dan shaum yang tak perlu lagi kita bicarakan unsur sosialnya. Kemudian haji dapat dilihat sebagai simposium umat Islam untuk membincangkan kondisi dunia terkini.
Hanya saja menurutnya, tak akan ada perubahan yang terjadi di dunia hanya dengan shalat, shaum, ataupun zakat. Menurutnya, itu semua hanya pelatihan semata. Dalam pandangan Maududi, latihan-latihan tadi harus berujung pada dakwah dan jihad. Saya melihat ada semacam optimisme religiusitas yang progresif di sini.
Sampai di sini, silahkan teman-teman menjawab, sampai sejauh ini perjalanan keberagamaan kita, ibadah yang telah kita lakukan untuk apa?