Konflik Agraria Rempang, Ambivalensi Negara antara Oligarki atau Masyarakat Rempang

Gambar Ilustrasi lahan pertanian. (Source Foto : Sinpo.id)

Belakang ini ramai soal Rempang, isu Rempang heboh di di Indonesia dan menjadi isu nasional.

Ketegangan di wilayah Rempang sebagaimana pemberitaan di berbagai media terjadi karena adanya  kepentingan antara pemerintah dan masyarakat yang tinggal dan menghuni di Pulau Rempang.

Rempang sendiri merupakan sebuah nama kepualaun yang terletak di wilayah pemerintahan kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Kepulauan Rempang merupakan wilayah yang sejak lama dihuni oleh masyarakat lokal steempat. Bahkan mereka tinggal di Pulau Rempang jauh sebelum Indonesia merdeka, atau jauh sebelum BP Batam berdiri.

Secara historis, masyarakat Rempang bahkan telah menghuni Rempang cukup lama, merawat serta berjuang untuk mempertahankan kepulauan tersebut sejak era penjajahan. Bahkan masyarakat Rempang ikut melawan penjajahan untuk mengusir dari bumi nusantara.

Sejak saat itulah masyarakat pulau Rempang menguasai kepulauan tersebut dan terbentuk masyarakat adat dan memiliki hak untuk mengelola sebagai pemegang hak Ulayat mereka.

Pengakuan hak Ulayat

Pengakuan hak ulayat pada dasarnya bukan saja secara de facto atau hanya diakui oleh masyarakt pulau rempang semata yang tanpa dasar dan pijakan hukum yang jelas melainkan hal ini juga diakuai oleh negara Indonesia sejak lima belas tahun Indonesia merdeka.

Dan pemerintah sejak itu secara resmi mengeluarkan peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang prinsip-prisip pokok agraria, pengakuan hak ulayat ini tercermin didalam pasal 3 Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang pokok-pokok agraria bahwa:

“Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Artinya secara de jure pemerintah memberikan legitimasi terhadap masyarakat adat sepanjang masyarakat adat itu masih ada atau diakui keberadaannya.

Ooligarki di Pulau Rempang

Awal mula oligarki ini muncul yaitu dengan menghendaki kepulauan Rempang tersebut sebagai lokasi pengembangan kawasan “ECO CITY” sehingga warga kepulauan Rempang ingin direlokasi seluruh penduduknya serta berusaha untuk memobilisai masyarakat demi mensukseskan proyek tersebut.

Hadirnya proyek tersebut tentu sebenarnya menjadi angin segar bagi masyarakat setempat untuk meningkatkan taraf hidup serta perekonomian serta terciptanya lapanga kerja. akan tetapi isu ini bukanlah perkara yang gampang dilaksanakan karena sejumlah masyarakat yang mendiami kepulauan tersebut berusaha keras untuk menolak untuk direlokasi bahkan menolak kehadiran proeyek tersebut.

Masyarakat adat Pulau Rempang yang dulunya memiliki hak tersendiri untuk menguasai tanah sebagai hak Ulayat terpaksa mereka harus berbenturan dengan oligarki kekuasaan, kekuasaan ini bukan sekedar oligarki hadir dan menguasai begitu saja tetapi mereka diberikan peluang oleh pemerintah serta mengatasnamakan kepentingan negara hal itu sangat terbukti dengan diterbitkan peraturan melalui kemeterian lingkungan hidup dan kehutanan yang mengubah status fungsional tanah.

Hal inilah yang meyebabkan ambivalensi negara karena terjadi disparitas antara rakyat pulau rempang dengan kepentingan oligarki, sehingga untuk menetukan sikap pemerintah perlu kehati-hatian dalam upaya menyelesaikan persoalan ini.

Apabila pemerintah memaksakan diri untuk memposisikan negara untuk berpihak pada oligarki maka perlawanan masyarakat akan semakin kuat bahkan mereka akan melakukan berbagai upaya untuk menghalangi oligarki meski harus berbenturan dengan pemerintah dalam hal ini adalah kepolisian sebagai garda terdepan dalam situasi lapangan.

Akan tetapi apabila pemerintah dalam hal ini berpihak kepada masyarakat pulau rempang maka pemerintah akan kehilngan investor serta harus menanggung malu dikancah internasional karena tidak mampu menciptakan situasi dan kondisi yang aman bagi para investor tersebut. Dan bahkan negara indonesia dianggap belum siap untuk menerima kenyataan sebagai negara maju.

Oleh : Ahmadin (Aktivis dan Mahasiswa Universitas Bung Karno, Jakarta)