Prof. Dr. Hafid Abbas
(Ketua Dewan Senat PTN Indonesia)
Prof Dr Agus Dudung MPd dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap bidang Ilmu Evaluasi Pembelajaran Kejuruan pada Fakultas Teknik UNJ, pada 18 Juli 2022, mengetengahkan orasi ilmiahnya dengan judul Prestasi Lulusan Mahasiswa: Perspektif Peran Three-E (E-Readiness, E-Learning, dan E-Book).
Apa yang telah dikemukakan oleh Dudung terkait dengan pemanfaatan teknologi digital dalam bentuk e-learning terlihat amat penting terutama pada masa dan pasca pandemi Covid-19. Three-E sebagai media pembelajaran elektronik, yang memanfaatkan paket informasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ICT) untuk kepentingan pembelajaran, dapat dengan mudah diakses oleh peserta didik kapan saja dan di mana saja.
Pemanfaatan media ini menurut Dudung dapat menciptakan suasana pembelajaran lebih kondusif, efektif dan efisien yang mendukung keberhasilan dan pretasi lulusan.
Dengan segala keprihatinan, pandemi Covid-19 yang telah melanda Indonesia selama 2-3 tahun terakhir ini telah membawa dampak negatif pada dunia pendidikan di tanah air. Data korban pandemi Covid-19 pada 30 April 2022, terdapat 6.046.796 kasus, kedua tertinggi di ASEAN, berada setelah Vietnam. Dengan 156.257 jumlah korban jiwa, Indonesia juga kedua tertinggi di Asia dan ke sembilan di dunia (Covid-19 Databased, 2020).
UNESCO dan UNICEF (2020) melaporkan bahwa Covid-19 telah semakin memperlebar kesenjangan mutu pendidikan antara Jawa dan luar Jawa, negeri dan swasta, kota dan desa, dsb. Dilaporkan bahwa diperkirakan terdapat 68 juta anak telah kehilangan akses pendidikan di masa pandeni, karena seluruh sekolah dan pusat kegiatan belajarnya di masyarakat ditutup.
Satu-satunya solusi dari keadaan itu adalah menggantinya dengan pembelajaran online. Namun, ternyata terdapat 67% guru yang masih mengalami kesulitan menggunakan perangkat digital dan media pembelajaran e-leaning; dan, empat dari lima pengguna internet di Indonesia berada di Jawa dan Sumatera.
Gambaran Pemanfaatan e-Learning di berbagai negara
Memperhatikan data dampak pandemi Covid-19 terhadap dunia pendidikan, dari hasil kajian meta analisisnya terhadap sejumlah penelitian terkait, Dudung menunjukkan peran Three–E berkontribusi 32,40% terhadap pencapaian prestasi lulusan mahasiswa.
Sebagai perbandingan dari temuan Dudung, satu penelitian menarik dalam penerapan teknologi digital di Perguruan Tinggi Swasta di Malaysia pada pemanfaatan e-learning di seluruh lingkup kegiatan tri-dharmanya. Diungkapkan bahwa penerapan e-learning yang terintegrasi dengan kegiatan akademik ternyata digerakkan oleh dosen-dosen muda. Mereka dinilai lebih inovatif dan proaktif terhadap perubahan dibanding dengan dosen-dosen senior.
Mereka rata-rata berusia 25-35, berpendidikan S2 dengan pengalaman kerja 2-5 tahun, bekerja fulltime, dinilai lebih berprestasi dibanding dengan mereka yang senior dalam pengembangan software, pemanfaatan multimedia pembelajaran, penyiapan website, dst. Dosen-dosen senior cenderung memelihara comfort zone, dan ragu dan curiga (suspicious) terhadap perubahan (Sukumaran, University of Malaya, 2016).
Studi lain, OECD dalam publikasinya E-Learning in Higher Education in Latin America (2015) menilai bahwa Perguruan Tinggi (PT) adalah motor penggerak kemajuan sosial ekonomi dan faktor kunci terwujudnya pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan di Amerika Latin (AL) dan Caribia.
Studi ini mengungkapkan berbagai temuannya terhadap penerapan e-learning di 341 PT yang tersebar di 13 negara di kawasan AL. Ditemukan: 65% PT masih melaksanakan perkuliahan secara tatap muka; 16% menggabungkan tatap-muka dengan e-learning (hybrid); dan 19% online.
Selanjutnya, penelitian OECD ini menunjukkan: perkuliahan secara e-learning belum diakui secara nasional, kecuali di hanya sepertiga PT di 34 negara karena mutunya dinilai rendah; 26% PT hanya menawarkan matakuliah online yang diperlukan oleh pasar; dan, 38% PT tidak menyiapkan biaya investasi terkait penyiapan infrastruktur e-leaning, dan 25% tidak menyiapkan sama sekali anggaran operasionalnya.
Selanjutnya, perkembangan pemanfaatan e-learning di AL antara 2013-2018 meningkat 9,7%, dua kali lebih besar dibanding rata-rata global (4,4%), bahkan lebih tinggi dibanding di Asia (8,9%). Yang tertinggi adalah di Afrika, 16,4%, Eropah Timur 8,4% dan terendah kawasan Timur Tengah 6,3%.
Sedangkan biaya memperoleh akses ICT diukur dari income per capita-nya, AS 0,4%, Kanada 1,1%, dan di AL angkanya amat bervariasi (dari 1,5% di Uruguay, 2% di Brazil, 22,8% di Nicaragua dan 81,9% in Haiti) (ITU, 2012). Pemanfaatan e-learning di AL terlihat ketimpangannya amat ekstrim (digital divide).
Ketimpangan ini mirip dengan keadaan antarwilayah atau antardaerah di Indonesia. Empat dari lima pengguna internet di Indonesia ada di Jawa dan di Sumatera (UNESCO, 2020). Biaya untuk mendapatkan akses internet di Papua tentu jauh lebih mahal dibanding di Jawa, karena infrastruktur teknologi ICT belum tersedia secara merata. Bukan hanya itu, dilaporkan oleh Bank Dunia dalam Indonesia Rising Divide (2015) bahwa akses anak ke fasilitas sanitasi yang layak di sekolah-sekolah sudah mencapai 94%, sedangkan di Papua hanya 2% (p. ii).
Terakhir, studi lain tetang e-leaning yang dilakukan oleh Technological University Dublin di Irlandia (2012) menunjukkan: 90% mahasiswa menilai e-learning berdampak positif pada dirinya; 80% berpendapat e-learning menyenangkan; dan 75% menganggap e-learning telah meningkatkan ketertarikannya mendalami lebih jauh matakuliahnya.
Selanjutnya, 70% mahasiswa menilai peran dosen harus lebih diutamakan, dan pembelajaran e-learning hanya pelengkap; dan bahkan 80% mahasiswa menilai mengikuti kuliah di kelas secara tatap muka lebih mudah memahami substansi perkuliahan karena jika tidak dimengerti dapat ditanyakan secara langsung ke dosennya.
Semoga Indonesia dapat segera mengejar ketertinggalannya dari Malaysia dan negara-negara tetangga lainnya di lingkup ASEAN dalam pemanfaatan teknologi pendidikan berbasis digital dengan media pembelajaran e-learning.